Gendrung dan Sahur Ramadhan
cerpen
Oleh :
Solomon Enesy
Senja
dan pagi sama saja nadanya, burung perkutut Juragan jeruk mendendang itu
dan itu saja,setiap paginya,setiap sorenya, pembeda jika bulan ramadahan tiba, gendrung perang menderung dari menara, menara
mesjid tempat tabu yang ayah saya pun tak kenal siapa pembuatnnya, dipakai
hanya saat kemenangan ramadhan saja, pada senja, dan setiap senja di bulan itu.
Untuk memukul gendrung ini seseorang yang khusus dan telah diwariskan kepada
keluargnya, kakeknya, bapaknya, dan sekarang dia, sipemukul gendrung yang saya
dengar dipanggil tuan Kadi namanya.
Apabila
sorenya, anak muda, orang tua, anak-anak berkumpul menunggu Gendrung itu di
Pukul si tuan berpeci itu, lebih cepat dipukul berharap para manusia-manusia
yang malas berpuasa, malas bertempur, malas meraih kemenangan. Bukankah
peperangan terbesar berperang melawan
hawa nafsu?. Itu puasa orang dewasa dan orang tua, puasa yang selalu dikaitkan
dengan nafsu dan gendrung di sore hari, untuk teman-temanku, puasa lebih lekat
dengan sahur istimewa, serbi bukaan dan gendrung yang ditunggu tahun
pertahunnya.
Si
Joi, yang dari tadi belum kelihatan, mungkin menyelinap di kerumunan orang——
atau dia tidak ikut menunggu gendrung yang di tunggu 11 bulan untuk mendengar
bunyi dengungnya, anak miskin yang selalu semangat, selalu ceria, meninggalkan
bunyi dengung yang butuh berbulan-bulan menantinya. Ting…….5 kali bunyi jam merek Ceser itu berbunyi, jam
milik mesjid yang sudah ada sejak zaman Belanda, Joi belum juga kelihatan
batang hidungnya, ayahnya, ibunya juga. Membawa bukaan ke halaman mesjid, budaya yang
dijaga sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum ayah Joi lahir, mungkin bagi
keluarganya ini tidaklah penting. Padahal….!!!
Ini hari pertama Ramadhan, anak tukang langsir kayu itu mungkin saja
tidak puasa. Tidak, tidak.. keluarganya
kental dengan Agama apalagi puasa,
Bijaksana
jika saya menjumpainya di rumahnya, rumah 3x3 m yang menumpang pertapakanny,
tak ada kamar, ruang tamu dan dapur sama saja, lebih waktu gendrung berbunyi
masih agak lama, kolak dingin dan pecal kampung tetap saya tenteng menuju
sahabat yang rumahnya agak jauh dari
mesjid itu. Dua adeknya, berkumul di kolong rumah joi, kelihatannya belum
mandi, banyak bercak di perutnya dan di
hidungnya lebih tebal bercak keabu-abuan, satu lagi di ayunan, tanpa peduli
sekelilingnya, tak mau tau gendrung yang telah lama ditunggu, mimpinya lebih
berharga di atas ayunan dengan kain yang tertambal-tambal itu. Joi masih sibuk
meniup-niup selongsong bambu yang terus di arahkan ke bara api, periuk yang sangat hitam di atasnya,
sepertinya kayu bakarnya mentah, pelepah kelapa yang baru jatuh, dan beberapa
sabut juga masih hijau, pantas kulupakan gendrung di rumah sahabatku ini.
“
Kamu tidak puasa??”,tanya Joi .
“
hemm “, jawabku sederhana.
Pastilah
kami sama-sama tau kalau kami pantang tidak puasa, kami bukanlah orang-orang
malas, bukanlah orang-orang yang takut, takut bertempur, takut untuk meraih
kemenangan.
“
mungkin besok saya ikut” sambung Joi. Saya tau hatiku, hati Joi, hati
orang-orang, tak lupa gendrung luar biasa itu.
Saya melihat ke dalam rumah joi,
yang ada periuk hitam yang api masih
berkobar-kobar di bawahnya, Joi hanya tersenyum, membahasakan ; dimata Tuhan
manusia itu semua sama.
Saya faham kesahajaan keluarga Joi,
tidak pernah mengenal kata mengeluh, pantang menitiskan air mata, walaupun
kadang mereka makan, porsi orang satu di bagi jadi tiga orang dengan lauk
seadanya, kadang nasi cukup dengan garam
dan cabe rawit yang hijau. Tapi tetap tabah dan percaya dunia ini tidaklah
nyata, penderitaan tidaklah abadi, tuhan tidaklah pernah berpihak, tuhan
memberi tupoksi masing-masing peran lakon kehidupan.
Dorongan dari dalam—untuk memberikan
jatah bukaanku kepada Joi, bukaan khusus yang dibelikan Ibu dari Panyabungan (
pasar paling ramai dan complit saat itu),
“ Apa ini ?” kata beliau.
“ Bukaan “ jawabku.
“
untukmu saja, ” dengan nada menolak yang
ikhlas, karna Joi yakin dia tidak akan ke mesjid untuk menanti gendrung hari
ini.
“enggak”
di rumah masih ada untukku ungkapku kembali, Joipun tidak bisa menolak
pemberian itu, dan tersenyum melihat kepergian saya dari rumahnya.
Walau
saya tau tidak ada seorangpun yang menunggu di mesjid tanpa sesuatu bukaan di
tangannya. Saya pastikan hari itu saya dan Joi tidak berkumpul di Mesjid
menunggu gendrung itu dipukul,
Pesta
capung
Capung yang tak terhitung ramenya,
terus terbang gembira kesana kemari, mengisi ruang angkasa di desa kecil Aek
Badak Nauli, hewan metamorfosis berpesta
ria menurut adat mereka yang telah tururn temurun. Menurut mitos hewan purba ini pembawa
keberuntungn bagi setiap tempat yang di
kunjunginya.
Mengikuti
irama di udara, anak anak se usiaku mengambil alih kekuasaan darat sambil
berlari dan bermain, saya menjadi kapten
di area infantri untuk tidak di usik grombolan
capung, dalam hati’ kekuasaanmu cukup di udara bagian darat biarlah anak
anak yang tetap bermain dan ber suka ria’, sambil berlari dan menjauh dari
orang tua yang sedang membersihkan daging dan ikan di bibir sungai Aek Badak.
Di
pinggir sungai, tempat paling ramai setiap tanggal 30 bulan sa’ban, orang tua
yang menyiangi lauk untuk sahur berkumpul di sini, Jarang orang tua yang tidak
datang kemari, sekedar bergurau dan membersihkan daging persiapan sahur nanti.
Tak ketinggalan juragan kayu, sambil mengusik kami agar lebih jauh karna takut
daging kerbau yang berat 5 kg, dan ikan mas yang besar besar, bobotnya hampir 2
kg per ekor terkena semburan pasir dari larian kami yang tidak menentu.
Lain
halnya dengan petani Jeruk manis yang kaya itu,beliau langsung potong se ekor
kambing yang cukup umur untuk aqikah, persiapan sahur nanti, “ sop dan randang”
kata beliau sambil bergurau dengan orang tua lain. Hanya saja orang tua sahabt
saya Joi yang tidak kelihatan batang hidungnya di sini. Tapi menanyakan itu
pada Joi bukanlah urusanku.
Insting menyerang mulai tumbuh di barisan infantri yang saya
pimpin, awalnya ingin bertahan di barisan darat, lama kelamaan ingin membagi
kekuasaan di udara alias menyerbu capung dan menangkapnya untuk sekedar mainan,
mungkin ini awal kesalahan besar bagi setiap pemimpin, yang ambisius dan rakus,
padahal rakus adalah awal dari kehancuran, tapi peluang yang ada selalu
menjadikan siapa saja gelap mata, “ serang
capung, tangkap sebanyak banyaknya hidup atau mati!!!!”. Perintahku .
Seluruh teman berhamburan mencari cara menembus udara
capung, RPG yang terbuat dari bambu panjangpun diturunkan dari tempat jemuran
orang. Ketapel dan alat semua di kerahkan,. Tapi capung yang manupernya mirip
helyy tempur buatan Indonesia, kami kalah
besar, hanya beberapa ekor yang dapat kami lumpuhkan. Teman-teman berkumpul,
menunggu aba-aba ku selanjutnya, beberapa anak mengadu kepada saya tanpa rasa
malu atas kegagalannya menjalankan tugas” tidak bisa dapat” susah” ini capung
tidak seperti capung biasa yang sering kita tangkap cukup dengan tangan” .
memang grombolan capung ini tidak ada yang hinggap seperti capung pada
ummumnya, melainkan hanya terbang dan manuver kesana kemari.
Pandangankupun
tertuju ke arah rumah sahabat saya
Joi. Pintu rumah beliau jarang di tutup,
karna engselnya sudah los, sehingga
terlihat ke dalam rumah. Samar samar saya lihat
ada jala ayahnya yang tergantung, jala yang selalu menemani ayahnya
mencari ikan di sungai, saya melihat jala itu sangat dalam, dan kembali menatap
wajah Joi, Joi sangat mengerti arti tatapan itu, diapun memberi saran, agar
memakai jala milik ayahnya.
Semua berhamburan dengan semangat,
sambil memegang jala dan memberi tonggak dua buah, dan berlari mengejar capung
seperti Joker yang menjaring Batman dan melumpuhkannya. Kami menang besar dan
mendapat capung yang banyak, hinggi menjelang magrib kami hentikan pertempuran.
”
Cepat mandi biar shalat magrib” kata ayah yang duduk bersantai di ruang tamu,
Selesai
shalat magrib saya santap hidangan masakan ibu di dapur.
Ayo
tarawih ajak sang ibu kepada saya, saya pun mengiyakan ajakan ibu. Apalagi ini
shalat tarawih perdana tahun ini. Mesjid yang agak jauh dari rumah, saya pilih
jalan yang sering saya lalui, lewat
belakang dan gang-gang sempit dari rumah rumah panggung, sembari mengajak Joi.
Sekitar
2 meter dari rumah Joi, saya dengar
suara keras dari ibu Joi “ Joi………… makanlah capung capung itu!
Terdengar
Joi sambil menangis dengan suara yang tertahan,
“Dasar
anak nakal, tidak mengerti keadaan orang tua”
“ udah bu !”. Kata ayahnya. ” kami akan
perbaiki jala ini dan setelah selesai
saya akan berangkat” tambah ayahnya lagi.
”
Iya, kalau Joi tidak sebodoh itu ayah sudah bisa berangkat lebih awal “. sahut
ibunya lebih pelan dari sebelumnya,. “
semalam sudah saya bilang agar ayah meminta pinjaman kepada juragan kayu, untuk
beli lauk untuk sahur nanti ”. Kata ibunya , dan menarik napas
dalam-dalam. “upah ayah hari ini cukup
untuk beli beras sampe sahur”. Dengan mata yang berbendung air mata. “ Lauknya belum ada “. suara ibunya lirih,sambil meneskan air mata.
” iya
bentar lagi saya berangkat, ibu berangkat saja dulu tarawih, ibu sudah seharian
tadi di sawah, saya dan Joi memperbaiki jala. ” Tambah ayahnya .
Saya
gemetaran dan iba dengan keluarga Joi, apalagi semua kesalahan ini berangkat
dari kesalahn saya,. “ mudah mudahan jalanya bisa cepat selesai”. Agar ayahnya
bisa segera berangkat mencari ikan untuk
sahur nanti. Sayapun urungkan niat untuk mengajak Joi, sedih seakan
tidak percaya kalau peristiwa sore tadi
menjadikan petaka bagi Joi, dan menanggung sendiri kesalahan kami semua,
alih-alih yang dipertaruhkannya untuk para sahabanya adalah sahur keluarganya.
Dalam shalat tarawih pikiran saya
tak lepas dari peristiwa tadi, penyesalan, rasa bersalah kepada Joi, usai
tarawih saya berusaha menutupinya dan ikut tadarusan, karna jam awal biasanya
yang tadarusan anak-anak, apalagi besok
sekolah libur.
Setelah
tadarus jam 12 malam sayapun pulang,
kembali lagi pikiranku kepada sahabat saya Joi, kepada bebannya malam ini,
beban yang sangat jarang di jumpai di desaku, kemungkinan sahur tanpa lauk, ya
Allah , ampuni hamba. Saya sempatkan ke
rumahnya untuk melihat keadaan Joi. Mudah mudahan ayahnya telah berangkat
mencari lauk untuk sahur nanti, doa saya dalam hati.
Dekat
rumah Joi saya berjalan sangat pelan agar tidak terdengar dari siapa saja.
Rumah Joi terbuat dari tepas bambu, sehingga banyak rongga yang bisa kita intip
ke dalam. Saya sangat terkejut sambil menahan air mata, melihat Ayah Joi yang
masih memperbaiki kerusakan Jalanya, baru selesai setengah dari kerusakan yang
kami buat.
Oleh : Solomon Enesy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar