Kamis, 02 Juni 2016



Gendrung dan Sahur Ramadhan

cerpen

Oleh  :  Solomon Enesy        
Senja dan pagi  sama saja nadanya,  burung perkutut Juragan jeruk mendendang itu dan itu saja,setiap paginya,setiap sorenya, pembeda jika  bulan ramadahan tiba,  gendrung perang menderung dari menara, menara mesjid tempat tabu yang ayah saya pun tak kenal siapa pembuatnnya, dipakai hanya saat  kemenangan ramadhan saja,  pada senja, dan setiap senja di bulan itu. Untuk memukul gendrung ini seseorang yang khusus dan telah diwariskan kepada keluargnya, kakeknya, bapaknya, dan sekarang dia, sipemukul gendrung yang saya dengar dipanggil tuan Kadi namanya.

Apabila sorenya, anak muda, orang tua, anak-anak berkumpul menunggu Gendrung itu di Pukul si tuan berpeci itu, lebih cepat dipukul berharap para manusia-manusia yang malas berpuasa, malas bertempur, malas meraih kemenangan. Bukankah peperangan terbesar   berperang melawan hawa nafsu?. Itu puasa orang dewasa dan orang tua, puasa yang selalu dikaitkan dengan nafsu dan gendrung di sore hari, untuk teman-temanku, puasa lebih lekat dengan sahur istimewa, serbi bukaan dan gendrung yang ditunggu tahun pertahunnya.

Si Joi, yang dari tadi belum kelihatan, mungkin menyelinap di kerumunan orang—— atau dia tidak ikut menunggu gendrung yang di tunggu 11 bulan untuk mendengar bunyi dengungnya, anak miskin yang selalu semangat, selalu ceria, meninggalkan bunyi dengung yang butuh berbulan-bulan menantinya. Ting…….5  kali bunyi jam merek Ceser itu berbunyi, jam milik mesjid yang sudah ada sejak zaman Belanda, Joi belum juga kelihatan batang hidungnya, ayahnya, ibunya juga.  Membawa bukaan ke halaman mesjid, budaya yang dijaga sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum ayah Joi lahir, mungkin bagi keluarganya ini tidaklah penting. Padahal….!!!  Ini hari pertama Ramadhan, anak tukang langsir kayu itu mungkin saja tidak puasa. Tidak, tidak..   keluarganya kental dengan Agama apalagi puasa, 

Bijaksana jika saya menjumpainya di rumahnya, rumah 3x3 m yang menumpang pertapakanny, tak ada kamar, ruang tamu dan dapur sama saja, lebih waktu gendrung berbunyi masih agak lama, kolak dingin dan pecal kampung tetap saya tenteng menuju sahabat  yang rumahnya agak jauh dari mesjid itu. Dua adeknya, berkumul di kolong rumah joi, kelihatannya belum mandi, banyak bercak di perutnya dan  di hidungnya lebih tebal bercak keabu-abuan, satu lagi di ayunan, tanpa peduli sekelilingnya, tak mau tau gendrung yang telah lama ditunggu, mimpinya lebih berharga di atas ayunan dengan kain yang tertambal-tambal itu. Joi masih sibuk meniup-niup selongsong bambu yang terus di arahkan ke bara api,  periuk yang sangat hitam di atasnya, sepertinya kayu bakarnya mentah, pelepah kelapa yang baru jatuh, dan beberapa sabut juga masih hijau, pantas kulupakan gendrung di rumah sahabatku ini.
“ Kamu tidak puasa??”,tanya Joi . 
“ hemm “, jawabku sederhana.
Pastilah kami sama-sama tau kalau kami pantang tidak puasa, kami bukanlah orang-orang malas, bukanlah orang-orang yang takut, takut bertempur, takut untuk meraih kemenangan.
“ mungkin besok saya ikut” sambung Joi. Saya tau hatiku, hati Joi, hati orang-orang, tak lupa gendrung luar biasa itu.
            Saya melihat ke dalam rumah joi, yang ada periuk hitam  yang api masih berkobar-kobar di bawahnya, Joi hanya tersenyum, membahasakan ; dimata Tuhan manusia itu semua sama.
            Saya faham kesahajaan keluarga Joi, tidak pernah mengenal kata mengeluh, pantang menitiskan air mata, walaupun kadang mereka makan, porsi orang satu di bagi jadi tiga orang dengan lauk seadanya, kadang nasi cukup dengan  garam dan cabe rawit yang hijau. Tapi tetap tabah dan percaya dunia ini tidaklah nyata, penderitaan tidaklah abadi, tuhan tidaklah pernah berpihak, tuhan memberi tupoksi masing-masing peran lakon kehidupan.

            Dorongan dari dalam—untuk memberikan jatah bukaanku kepada Joi, bukaan khusus yang dibelikan Ibu dari Panyabungan ( pasar paling ramai dan complit saat itu), 
 “ Apa ini ?” kata beliau.
 “ Bukaan “ jawabku.
“ untukmu saja, ”  dengan nada menolak yang ikhlas, karna Joi yakin dia tidak akan ke mesjid untuk menanti gendrung hari ini.
“enggak” di rumah masih ada untukku ungkapku kembali, Joipun tidak bisa menolak pemberian itu, dan tersenyum melihat kepergian saya dari rumahnya.
Walau saya tau tidak ada seorangpun yang menunggu di mesjid tanpa sesuatu bukaan di tangannya. Saya pastikan hari itu saya dan Joi tidak berkumpul di Mesjid menunggu gendrung itu dipukul,
             
            Pesta capung
            Capung yang tak terhitung ramenya, terus terbang gembira kesana kemari, mengisi ruang angkasa di desa kecil Aek Badak Nauli, hewan metamorfosis  berpesta ria menurut adat mereka yang telah tururn temurun.  Menurut mitos hewan purba ini pembawa keberuntungn bagi setiap tempat  yang di kunjunginya.  
Mengikuti irama di udara, anak anak se usiaku mengambil alih kekuasaan darat sambil berlari dan bermain, saya menjadi  kapten di area infantri untuk tidak di usik grombolan  capung, dalam hati’ kekuasaanmu cukup di udara bagian darat biarlah anak anak yang tetap bermain dan ber suka ria’, sambil berlari dan menjauh dari orang tua yang sedang membersihkan daging dan ikan di bibir sungai Aek Badak.
Di pinggir sungai, tempat paling ramai setiap tanggal 30 bulan sa’ban, orang tua yang menyiangi lauk untuk sahur berkumpul di sini, Jarang orang tua yang tidak datang kemari, sekedar bergurau dan membersihkan daging persiapan sahur nanti. Tak ketinggalan juragan kayu, sambil mengusik kami agar lebih jauh karna takut daging kerbau yang berat 5 kg, dan ikan mas yang besar besar, bobotnya hampir 2 kg per ekor terkena semburan pasir dari larian kami yang tidak menentu. 

Lain halnya dengan petani Jeruk manis yang kaya itu,beliau langsung potong se ekor kambing yang cukup umur untuk aqikah, persiapan sahur nanti, “ sop dan randang” kata beliau sambil bergurau dengan orang tua lain. Hanya saja orang tua sahabt saya Joi yang tidak kelihatan batang hidungnya di sini. Tapi menanyakan itu pada Joi bukanlah urusanku.
            Insting menyerang  mulai tumbuh di barisan infantri yang saya pimpin, awalnya ingin bertahan di barisan darat, lama kelamaan ingin membagi kekuasaan di udara alias menyerbu capung dan menangkapnya untuk sekedar mainan, mungkin ini awal kesalahan besar bagi setiap pemimpin, yang ambisius dan rakus, padahal rakus adalah awal dari kehancuran, tapi peluang yang ada selalu menjadikan siapa saja gelap mata, “ serang capung, tangkap sebanyak banyaknya hidup atau mati!!!!”. Perintahku .

Seluruh  teman berhamburan mencari cara menembus udara capung, RPG yang terbuat dari bambu panjangpun diturunkan dari tempat jemuran orang. Ketapel dan alat semua di kerahkan,. Tapi capung yang manupernya mirip helyy  tempur buatan Indonesia, kami kalah besar, hanya beberapa ekor yang dapat kami lumpuhkan. Teman-teman berkumpul, menunggu aba-aba ku selanjutnya, beberapa anak mengadu kepada saya tanpa rasa malu atas kegagalannya menjalankan tugas” tidak bisa dapat” susah” ini capung tidak seperti capung biasa yang sering kita tangkap cukup dengan tangan” . memang grombolan capung ini tidak ada yang hinggap seperti capung pada ummumnya, melainkan hanya terbang dan manuver kesana kemari.
Pandangankupun tertuju  ke arah rumah sahabat saya Joi.  Pintu rumah beliau jarang di tutup, karna engselnya sudah los,  sehingga terlihat ke dalam rumah. Samar samar saya lihat  ada jala ayahnya yang tergantung, jala yang selalu menemani ayahnya mencari ikan di sungai, saya melihat jala itu sangat dalam, dan kembali menatap wajah Joi, Joi sangat mengerti arti tatapan itu, diapun memberi saran, agar memakai jala milik ayahnya.
            Semua berhamburan dengan semangat, sambil memegang jala dan memberi tonggak dua buah, dan berlari mengejar capung seperti Joker yang menjaring Batman dan melumpuhkannya. Kami menang besar dan mendapat capung yang banyak, hinggi menjelang magrib kami hentikan pertempuran.

” Cepat mandi biar shalat magrib” kata ayah yang duduk bersantai di ruang tamu,
Selesai shalat magrib saya santap hidangan masakan ibu di dapur.

Ayo tarawih ajak sang ibu kepada saya, saya pun mengiyakan ajakan ibu. Apalagi ini shalat tarawih perdana tahun ini. Mesjid yang agak jauh dari rumah, saya pilih jalan yang  sering saya lalui, lewat belakang dan gang-gang sempit dari rumah rumah panggung, sembari mengajak  Joi.

Sekitar 2 meter dari rumah Joi,  saya dengar suara keras dari ibu Joi “ Joi………… makanlah capung capung itu!
Terdengar Joi sambil menangis dengan suara yang tertahan,
“Dasar anak nakal, tidak mengerti keadaan orang tua”
 “ udah bu !”. Kata ayahnya. ” kami akan perbaiki jala ini  dan setelah selesai saya akan berangkat” tambah ayahnya lagi.
” Iya, kalau Joi tidak sebodoh itu ayah sudah bisa berangkat lebih awal “. sahut ibunya lebih pelan dari sebelumnya,.  “ semalam sudah saya bilang agar ayah meminta pinjaman kepada juragan kayu, untuk beli lauk untuk sahur nanti ”. Kata ibunya , dan menarik napas dalam-dalam.  “upah ayah hari ini cukup untuk beli beras sampe sahur”. Dengan mata yang berbendung air mata.  “ Lauknya belum ada “.  suara ibunya lirih,sambil meneskan air mata.
   iya bentar lagi saya berangkat, ibu berangkat saja dulu tarawih, ibu sudah seharian tadi di sawah, saya dan Joi memperbaiki jala. ” Tambah ayahnya .
Saya gemetaran dan iba dengan keluarga Joi, apalagi semua kesalahan ini berangkat dari kesalahn saya,. “ mudah mudahan jalanya bisa cepat selesai”. Agar ayahnya bisa segera berangkat mencari ikan untuk  sahur nanti. Sayapun urungkan niat untuk mengajak Joi, sedih seakan tidak percaya kalau peristiwa sore  tadi menjadikan petaka bagi Joi, dan menanggung sendiri kesalahan kami semua, alih-alih yang dipertaruhkannya untuk para sahabanya adalah  sahur keluarganya.
            Dalam shalat tarawih pikiran saya tak lepas dari peristiwa tadi, penyesalan, rasa bersalah kepada Joi, usai tarawih saya berusaha menutupinya dan ikut tadarusan, karna jam awal biasanya yang tadarusan anak-anak,  apalagi besok sekolah libur.
Setelah tadarus jam 12 malam sayapun  pulang, kembali lagi pikiranku kepada sahabat saya Joi, kepada bebannya malam ini, beban yang sangat jarang di jumpai di desaku, kemungkinan sahur tanpa lauk, ya Allah , ampuni hamba.  Saya sempatkan ke rumahnya untuk melihat keadaan Joi. Mudah mudahan ayahnya telah berangkat mencari lauk untuk sahur nanti, doa saya dalam hati.
Dekat rumah Joi saya berjalan sangat pelan agar tidak terdengar dari siapa saja. Rumah Joi terbuat dari tepas bambu, sehingga banyak rongga yang bisa kita intip ke dalam. Saya sangat terkejut sambil menahan air mata, melihat Ayah Joi yang masih memperbaiki kerusakan Jalanya, baru selesai setengah dari kerusakan yang kami buat.

            Oleh :  Solomon Enesy                      

          



Tidak ada komentar:

Posting Komentar