Kamis, 02 Juni 2016

Pusara



Pusara
Cerpen
Oleh : Solomon Enesy

Lelaki itu terus saja merunduk di tumpuan tangannya, apa yang sedang di fikirkannya, itu tidaklah begitu penting bagiku, sebab aku sudah tahu roh dari wajahnya itu, dari wajah-wajah yang selalu merunduk disitu, di trotoar jalan kemayoran. Sudah bertahun-tahun saya memaknai secara lahiriyah wajah-perwajah yang selalu berbohong dari roh yang menghidupinya.

Pasar HajiUng adalah rumahku, ayahku menitipkanku disini disaat usiaku belum genap sehari, ibuku setuju dan mengamini kalau aku menyusui ibu jari disini, di atas bale-bale pedagang HajiUng aku menunggu malaikat yang memotong tali pusarku. Baju daster ibu memberi kehangatan sampai malaikat itu menunggu. Aku tamu istimewa di Pasar HajiUng, dan sekarang menjadi negeriku hingga bersinggah 16 tahun lalu aku tumbuh di sini. Ibu dan ayah mungkin ada urusan yang sangat penting hingga tak pernah sempat menemuiku. Masanya belum tiba ayah akan memelukku dan ibu mencium pipiku. Mungkin beberapa hari ini, atau mungkin saja nanti malam, di bele-bele ini tetap kunanti.

Lelaki itu belum juga mengangkat kepalanya,  masih tenggelam di dasar samudera khayal miliknya, seratus, seribu, beribu-ribu wajah yang selalu termenung dalam keputusasaan yang bernaung  di pasar Haji Ung ini. Bermuara tanpa pernah merasa sedang berlabuh.

“ hemm…  bang ucok ternyata, kenapa sedih bang??”   setelah aku mendekatinya.
“ he he he…..   saya cuman ngelamun”
“ sudah kelar dagangannya di jajakan bang” kembali saya bertanya

Saya kenal lelaki itu seorang pedangang Pasar Haji Ung yang menurut kacamata saya berhasil disini, dari berjualan poster, handuk, topi, gesper dll beliau geluti, untuk ukuran pedagang kaki lima Haji Ung beliau cukup sukses. Selain itu beliau murah hati dan sering membantu orang kesusahan. Saya sering minta sebatang rokok darinya dan tak pernah meminta kembali rokokku sekalipun hingga hari ini.
Beliau jarang pulang ke Medan, dua tahun atau tiga tahun bisa hanya sekali, maklum ke Medan itu ongkosnya mahal. Belakangan ini yang agak begitu lama saya lihat, ini lebaran yang ke 5, mungkin beliau akan pulang,. Begitu banyak beliau bantu saya, kadang memberiku duit makan malam di warung pok Mira, di dekat jembatan, nasi dengan tahu namun sangat bersahabat dan menjadi langgananku tiap malamnya.
“ minum bang “ saya menyodorkan aqua ,. Mungkin ini kesempatanku memberi pada beliau.
“ terima kasih”
“ kenapa menung bang?”  saya ingin menjadi pendengar yang baik untuk bang ucok
“ g ada cuman kangen pusara orang tua.   saya tidak bisa jiarah, hanya dengan doa ku kirim dari pulau Jawa ini,”  jawab beliau.

Sekarang saya memahami,  ziarah tak tersampai, doa berpanjat sejauh bentang selat sunda, lebih jauh lagi ke ujung pulau Sumatra bagian Utara, di atas pusara nama ayah tersurat, tepat disampingnya pusara yang bertuliskan nama Ibu. Lamunan yang Pantas, dan lebih sangat pantas lagi untuk seorang putra, putra dari garis keturunan Raja-Raja Madailing.
Disini, di Pasar Haji Ung beliau bersimpuh dalam luapan rasa rindu, sedikit rasa bersalah yang tidak bisa menabur dedaunan di atas pusara yang jauuuuuh….  Itu. Disaat pusara itu belum ada beliau belum apa2 dan siapa2, masih sejengkal perut yang selalu mengajaknya bersiteru untuk tetap diisi tipa harinya. Bukankah membahagiakan orang tua harus dengan sedikit kantong yang menonjol??????

Doa, doa untuk isi Pusara itu dari sini dihaturkan kepada Sang Malik.

Saya menitiskan airmata yang sengaja kusembunyikan dengan tato kelelawar besar di lengan ku,. Saya juga merasa hal yang sama, rindu. Namun bang ucok harus punya ongkos mahal untuk ziarah itu,. Saya cukup dengan doa dimanapun pusara ayah ibuku berada saya belum pernah dikasih tau. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar