Kamis, 02 Juni 2016



Gendrung dan Sahur Ramadhan

cerpen

Oleh  :  Solomon Enesy        
Senja dan pagi  sama saja nadanya,  burung perkutut Juragan jeruk mendendang itu dan itu saja,setiap paginya,setiap sorenya, pembeda jika  bulan ramadahan tiba,  gendrung perang menderung dari menara, menara mesjid tempat tabu yang ayah saya pun tak kenal siapa pembuatnnya, dipakai hanya saat  kemenangan ramadhan saja,  pada senja, dan setiap senja di bulan itu. Untuk memukul gendrung ini seseorang yang khusus dan telah diwariskan kepada keluargnya, kakeknya, bapaknya, dan sekarang dia, sipemukul gendrung yang saya dengar dipanggil tuan Kadi namanya.

Apabila sorenya, anak muda, orang tua, anak-anak berkumpul menunggu Gendrung itu di Pukul si tuan berpeci itu, lebih cepat dipukul berharap para manusia-manusia yang malas berpuasa, malas bertempur, malas meraih kemenangan. Bukankah peperangan terbesar   berperang melawan hawa nafsu?. Itu puasa orang dewasa dan orang tua, puasa yang selalu dikaitkan dengan nafsu dan gendrung di sore hari, untuk teman-temanku, puasa lebih lekat dengan sahur istimewa, serbi bukaan dan gendrung yang ditunggu tahun pertahunnya.

Si Joi, yang dari tadi belum kelihatan, mungkin menyelinap di kerumunan orang—— atau dia tidak ikut menunggu gendrung yang di tunggu 11 bulan untuk mendengar bunyi dengungnya, anak miskin yang selalu semangat, selalu ceria, meninggalkan bunyi dengung yang butuh berbulan-bulan menantinya. Ting…….5  kali bunyi jam merek Ceser itu berbunyi, jam milik mesjid yang sudah ada sejak zaman Belanda, Joi belum juga kelihatan batang hidungnya, ayahnya, ibunya juga.  Membawa bukaan ke halaman mesjid, budaya yang dijaga sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum ayah Joi lahir, mungkin bagi keluarganya ini tidaklah penting. Padahal….!!!  Ini hari pertama Ramadhan, anak tukang langsir kayu itu mungkin saja tidak puasa. Tidak, tidak..   keluarganya kental dengan Agama apalagi puasa, 

Bijaksana jika saya menjumpainya di rumahnya, rumah 3x3 m yang menumpang pertapakanny, tak ada kamar, ruang tamu dan dapur sama saja, lebih waktu gendrung berbunyi masih agak lama, kolak dingin dan pecal kampung tetap saya tenteng menuju sahabat  yang rumahnya agak jauh dari mesjid itu. Dua adeknya, berkumul di kolong rumah joi, kelihatannya belum mandi, banyak bercak di perutnya dan  di hidungnya lebih tebal bercak keabu-abuan, satu lagi di ayunan, tanpa peduli sekelilingnya, tak mau tau gendrung yang telah lama ditunggu, mimpinya lebih berharga di atas ayunan dengan kain yang tertambal-tambal itu. Joi masih sibuk meniup-niup selongsong bambu yang terus di arahkan ke bara api,  periuk yang sangat hitam di atasnya, sepertinya kayu bakarnya mentah, pelepah kelapa yang baru jatuh, dan beberapa sabut juga masih hijau, pantas kulupakan gendrung di rumah sahabatku ini.
“ Kamu tidak puasa??”,tanya Joi . 
“ hemm “, jawabku sederhana.
Pastilah kami sama-sama tau kalau kami pantang tidak puasa, kami bukanlah orang-orang malas, bukanlah orang-orang yang takut, takut bertempur, takut untuk meraih kemenangan.
“ mungkin besok saya ikut” sambung Joi. Saya tau hatiku, hati Joi, hati orang-orang, tak lupa gendrung luar biasa itu.
            Saya melihat ke dalam rumah joi, yang ada periuk hitam  yang api masih berkobar-kobar di bawahnya, Joi hanya tersenyum, membahasakan ; dimata Tuhan manusia itu semua sama.
            Saya faham kesahajaan keluarga Joi, tidak pernah mengenal kata mengeluh, pantang menitiskan air mata, walaupun kadang mereka makan, porsi orang satu di bagi jadi tiga orang dengan lauk seadanya, kadang nasi cukup dengan  garam dan cabe rawit yang hijau. Tapi tetap tabah dan percaya dunia ini tidaklah nyata, penderitaan tidaklah abadi, tuhan tidaklah pernah berpihak, tuhan memberi tupoksi masing-masing peran lakon kehidupan.

            Dorongan dari dalam—untuk memberikan jatah bukaanku kepada Joi, bukaan khusus yang dibelikan Ibu dari Panyabungan ( pasar paling ramai dan complit saat itu), 
 “ Apa ini ?” kata beliau.
 “ Bukaan “ jawabku.
“ untukmu saja, ”  dengan nada menolak yang ikhlas, karna Joi yakin dia tidak akan ke mesjid untuk menanti gendrung hari ini.
“enggak” di rumah masih ada untukku ungkapku kembali, Joipun tidak bisa menolak pemberian itu, dan tersenyum melihat kepergian saya dari rumahnya.
Walau saya tau tidak ada seorangpun yang menunggu di mesjid tanpa sesuatu bukaan di tangannya. Saya pastikan hari itu saya dan Joi tidak berkumpul di Mesjid menunggu gendrung itu dipukul,
             
            Pesta capung
            Capung yang tak terhitung ramenya, terus terbang gembira kesana kemari, mengisi ruang angkasa di desa kecil Aek Badak Nauli, hewan metamorfosis  berpesta ria menurut adat mereka yang telah tururn temurun.  Menurut mitos hewan purba ini pembawa keberuntungn bagi setiap tempat  yang di kunjunginya.  
Mengikuti irama di udara, anak anak se usiaku mengambil alih kekuasaan darat sambil berlari dan bermain, saya menjadi  kapten di area infantri untuk tidak di usik grombolan  capung, dalam hati’ kekuasaanmu cukup di udara bagian darat biarlah anak anak yang tetap bermain dan ber suka ria’, sambil berlari dan menjauh dari orang tua yang sedang membersihkan daging dan ikan di bibir sungai Aek Badak.
Di pinggir sungai, tempat paling ramai setiap tanggal 30 bulan sa’ban, orang tua yang menyiangi lauk untuk sahur berkumpul di sini, Jarang orang tua yang tidak datang kemari, sekedar bergurau dan membersihkan daging persiapan sahur nanti. Tak ketinggalan juragan kayu, sambil mengusik kami agar lebih jauh karna takut daging kerbau yang berat 5 kg, dan ikan mas yang besar besar, bobotnya hampir 2 kg per ekor terkena semburan pasir dari larian kami yang tidak menentu. 

Lain halnya dengan petani Jeruk manis yang kaya itu,beliau langsung potong se ekor kambing yang cukup umur untuk aqikah, persiapan sahur nanti, “ sop dan randang” kata beliau sambil bergurau dengan orang tua lain. Hanya saja orang tua sahabt saya Joi yang tidak kelihatan batang hidungnya di sini. Tapi menanyakan itu pada Joi bukanlah urusanku.
            Insting menyerang  mulai tumbuh di barisan infantri yang saya pimpin, awalnya ingin bertahan di barisan darat, lama kelamaan ingin membagi kekuasaan di udara alias menyerbu capung dan menangkapnya untuk sekedar mainan, mungkin ini awal kesalahan besar bagi setiap pemimpin, yang ambisius dan rakus, padahal rakus adalah awal dari kehancuran, tapi peluang yang ada selalu menjadikan siapa saja gelap mata, “ serang capung, tangkap sebanyak banyaknya hidup atau mati!!!!”. Perintahku .

Seluruh  teman berhamburan mencari cara menembus udara capung, RPG yang terbuat dari bambu panjangpun diturunkan dari tempat jemuran orang. Ketapel dan alat semua di kerahkan,. Tapi capung yang manupernya mirip helyy  tempur buatan Indonesia, kami kalah besar, hanya beberapa ekor yang dapat kami lumpuhkan. Teman-teman berkumpul, menunggu aba-aba ku selanjutnya, beberapa anak mengadu kepada saya tanpa rasa malu atas kegagalannya menjalankan tugas” tidak bisa dapat” susah” ini capung tidak seperti capung biasa yang sering kita tangkap cukup dengan tangan” . memang grombolan capung ini tidak ada yang hinggap seperti capung pada ummumnya, melainkan hanya terbang dan manuver kesana kemari.
Pandangankupun tertuju  ke arah rumah sahabat saya Joi.  Pintu rumah beliau jarang di tutup, karna engselnya sudah los,  sehingga terlihat ke dalam rumah. Samar samar saya lihat  ada jala ayahnya yang tergantung, jala yang selalu menemani ayahnya mencari ikan di sungai, saya melihat jala itu sangat dalam, dan kembali menatap wajah Joi, Joi sangat mengerti arti tatapan itu, diapun memberi saran, agar memakai jala milik ayahnya.
            Semua berhamburan dengan semangat, sambil memegang jala dan memberi tonggak dua buah, dan berlari mengejar capung seperti Joker yang menjaring Batman dan melumpuhkannya. Kami menang besar dan mendapat capung yang banyak, hinggi menjelang magrib kami hentikan pertempuran.

” Cepat mandi biar shalat magrib” kata ayah yang duduk bersantai di ruang tamu,
Selesai shalat magrib saya santap hidangan masakan ibu di dapur.

Ayo tarawih ajak sang ibu kepada saya, saya pun mengiyakan ajakan ibu. Apalagi ini shalat tarawih perdana tahun ini. Mesjid yang agak jauh dari rumah, saya pilih jalan yang  sering saya lalui, lewat belakang dan gang-gang sempit dari rumah rumah panggung, sembari mengajak  Joi.

Sekitar 2 meter dari rumah Joi,  saya dengar suara keras dari ibu Joi “ Joi………… makanlah capung capung itu!
Terdengar Joi sambil menangis dengan suara yang tertahan,
“Dasar anak nakal, tidak mengerti keadaan orang tua”
 “ udah bu !”. Kata ayahnya. ” kami akan perbaiki jala ini  dan setelah selesai saya akan berangkat” tambah ayahnya lagi.
” Iya, kalau Joi tidak sebodoh itu ayah sudah bisa berangkat lebih awal “. sahut ibunya lebih pelan dari sebelumnya,.  “ semalam sudah saya bilang agar ayah meminta pinjaman kepada juragan kayu, untuk beli lauk untuk sahur nanti ”. Kata ibunya , dan menarik napas dalam-dalam.  “upah ayah hari ini cukup untuk beli beras sampe sahur”. Dengan mata yang berbendung air mata.  “ Lauknya belum ada “.  suara ibunya lirih,sambil meneskan air mata.
   iya bentar lagi saya berangkat, ibu berangkat saja dulu tarawih, ibu sudah seharian tadi di sawah, saya dan Joi memperbaiki jala. ” Tambah ayahnya .
Saya gemetaran dan iba dengan keluarga Joi, apalagi semua kesalahan ini berangkat dari kesalahn saya,. “ mudah mudahan jalanya bisa cepat selesai”. Agar ayahnya bisa segera berangkat mencari ikan untuk  sahur nanti. Sayapun urungkan niat untuk mengajak Joi, sedih seakan tidak percaya kalau peristiwa sore  tadi menjadikan petaka bagi Joi, dan menanggung sendiri kesalahan kami semua, alih-alih yang dipertaruhkannya untuk para sahabanya adalah  sahur keluarganya.
            Dalam shalat tarawih pikiran saya tak lepas dari peristiwa tadi, penyesalan, rasa bersalah kepada Joi, usai tarawih saya berusaha menutupinya dan ikut tadarusan, karna jam awal biasanya yang tadarusan anak-anak,  apalagi besok sekolah libur.
Setelah tadarus jam 12 malam sayapun  pulang, kembali lagi pikiranku kepada sahabat saya Joi, kepada bebannya malam ini, beban yang sangat jarang di jumpai di desaku, kemungkinan sahur tanpa lauk, ya Allah , ampuni hamba.  Saya sempatkan ke rumahnya untuk melihat keadaan Joi. Mudah mudahan ayahnya telah berangkat mencari lauk untuk sahur nanti, doa saya dalam hati.
Dekat rumah Joi saya berjalan sangat pelan agar tidak terdengar dari siapa saja. Rumah Joi terbuat dari tepas bambu, sehingga banyak rongga yang bisa kita intip ke dalam. Saya sangat terkejut sambil menahan air mata, melihat Ayah Joi yang masih memperbaiki kerusakan Jalanya, baru selesai setengah dari kerusakan yang kami buat.

            Oleh :  Solomon Enesy                      

          



Pusara



Pusara
Cerpen
Oleh : Solomon Enesy

Lelaki itu terus saja merunduk di tumpuan tangannya, apa yang sedang di fikirkannya, itu tidaklah begitu penting bagiku, sebab aku sudah tahu roh dari wajahnya itu, dari wajah-wajah yang selalu merunduk disitu, di trotoar jalan kemayoran. Sudah bertahun-tahun saya memaknai secara lahiriyah wajah-perwajah yang selalu berbohong dari roh yang menghidupinya.

Pasar HajiUng adalah rumahku, ayahku menitipkanku disini disaat usiaku belum genap sehari, ibuku setuju dan mengamini kalau aku menyusui ibu jari disini, di atas bale-bale pedagang HajiUng aku menunggu malaikat yang memotong tali pusarku. Baju daster ibu memberi kehangatan sampai malaikat itu menunggu. Aku tamu istimewa di Pasar HajiUng, dan sekarang menjadi negeriku hingga bersinggah 16 tahun lalu aku tumbuh di sini. Ibu dan ayah mungkin ada urusan yang sangat penting hingga tak pernah sempat menemuiku. Masanya belum tiba ayah akan memelukku dan ibu mencium pipiku. Mungkin beberapa hari ini, atau mungkin saja nanti malam, di bele-bele ini tetap kunanti.

Lelaki itu belum juga mengangkat kepalanya,  masih tenggelam di dasar samudera khayal miliknya, seratus, seribu, beribu-ribu wajah yang selalu termenung dalam keputusasaan yang bernaung  di pasar Haji Ung ini. Bermuara tanpa pernah merasa sedang berlabuh.

“ hemm…  bang ucok ternyata, kenapa sedih bang??”   setelah aku mendekatinya.
“ he he he…..   saya cuman ngelamun”
“ sudah kelar dagangannya di jajakan bang” kembali saya bertanya

Saya kenal lelaki itu seorang pedangang Pasar Haji Ung yang menurut kacamata saya berhasil disini, dari berjualan poster, handuk, topi, gesper dll beliau geluti, untuk ukuran pedagang kaki lima Haji Ung beliau cukup sukses. Selain itu beliau murah hati dan sering membantu orang kesusahan. Saya sering minta sebatang rokok darinya dan tak pernah meminta kembali rokokku sekalipun hingga hari ini.
Beliau jarang pulang ke Medan, dua tahun atau tiga tahun bisa hanya sekali, maklum ke Medan itu ongkosnya mahal. Belakangan ini yang agak begitu lama saya lihat, ini lebaran yang ke 5, mungkin beliau akan pulang,. Begitu banyak beliau bantu saya, kadang memberiku duit makan malam di warung pok Mira, di dekat jembatan, nasi dengan tahu namun sangat bersahabat dan menjadi langgananku tiap malamnya.
“ minum bang “ saya menyodorkan aqua ,. Mungkin ini kesempatanku memberi pada beliau.
“ terima kasih”
“ kenapa menung bang?”  saya ingin menjadi pendengar yang baik untuk bang ucok
“ g ada cuman kangen pusara orang tua.   saya tidak bisa jiarah, hanya dengan doa ku kirim dari pulau Jawa ini,”  jawab beliau.

Sekarang saya memahami,  ziarah tak tersampai, doa berpanjat sejauh bentang selat sunda, lebih jauh lagi ke ujung pulau Sumatra bagian Utara, di atas pusara nama ayah tersurat, tepat disampingnya pusara yang bertuliskan nama Ibu. Lamunan yang Pantas, dan lebih sangat pantas lagi untuk seorang putra, putra dari garis keturunan Raja-Raja Madailing.
Disini, di Pasar Haji Ung beliau bersimpuh dalam luapan rasa rindu, sedikit rasa bersalah yang tidak bisa menabur dedaunan di atas pusara yang jauuuuuh….  Itu. Disaat pusara itu belum ada beliau belum apa2 dan siapa2, masih sejengkal perut yang selalu mengajaknya bersiteru untuk tetap diisi tipa harinya. Bukankah membahagiakan orang tua harus dengan sedikit kantong yang menonjol??????

Doa, doa untuk isi Pusara itu dari sini dihaturkan kepada Sang Malik.

Saya menitiskan airmata yang sengaja kusembunyikan dengan tato kelelawar besar di lengan ku,. Saya juga merasa hal yang sama, rindu. Namun bang ucok harus punya ongkos mahal untuk ziarah itu,. Saya cukup dengan doa dimanapun pusara ayah ibuku berada saya belum pernah dikasih tau. 

Selasa, 10 Mei 2016

oleholeh buat ayah



Cerpen : Solomon Enesy
Oleh Oleh Buat Ayah

Empat anak bambu  sepanjang 1 meter bersama akar akarnya ku jaga sedemikian rupa, kemasannya pun tidak ku beri peluang untuk lecet, saat ini, empat anak pohon bambu itu adalah barang yang paling berharga bagi saya,.” Maklum” pesanan Ayah dari tanah Angkola, yang disebut juga Mandailing julu. Saya menjaganya hampir serupa dengan surat pertama saya yang baru dibalas dari gadis impian saya, ku simpan di antara lipatan lipatan kain saya agar tetap rapi seperti baru ku terima dari gadis tersebut. 

Pembalutnya saja tiga lapis karung, baleho dan lagban yang tebal, agar sampai di Mandailing julu tetap seperti yang baru saya ambil dari rumpunnya dan siap untuk di tanam dan tumbuh dengan baik. “ ya” Untuk Ayah. Saya kenal ayah dalam menanam pohon apa pun, selalu teliti dalam memilih bibit dan indukan, konon katanya bambu melayu sangat mudah di atur dan kokoh meski ukurannya lebih kecil dari bambu di desa saya, hampir sekokoh bambu cina yang terkenal ke penjuru bumi kekokohannya. Mungkin inilah yang membuat ayah sangat menginginkan bambu melayu, untuk di jadikan pagar ladang kecilnya di lahan yang baru beliau tanami dengan kakau. Tempatnya sengaja kusiapkan dengan rapi  dalam mobil avanza putih yang baru ku lunasi, agar tetap segar hingga kubangan.
Sebagai suku mandailng

Pelajaran pertama dalam suku mandailing adalah, TUTUR SAPA, dalam system Dalihan Natolu setiap anak dari suku mandailing telah di lengketkan secara permanen Program TUTUR ( panggilan tertentu kepada orang tertentu)., Tulang, amangboru, Ujing , Tobang dan lain lain, . betapa halusnya cara kerja program ini sehingga untuk panggilan pun ada aturannya apalagi PANGALAHO ( secara bahasa : cara berjalan, secara Istilah : bersikap, bertingkah dan mengambil keputusan ). Cara berjalan saja kita ada aturannya, bagaiman berjalan di hadapan Hamoraon,(sesepuh) Harajaon ( darah biru )dll,. Dan itulah yang ditularkan orang tua saya kepada saya sehingga saya bisa melewati masa masa sulit di Pulau Natuna dan menjadi Orang pertama yang bermarga yang memiliki beberpa kaplingan sawit dan dua buah ruko strategis di jalan protocol. Alhamdulillh semoga bertambah lagi. Pesan, BISUK ( kecerdasan emosional ) lebih banyak menghantar orang kepada kesuksesan di bandingkan kecerdasan Intelektual. “ Bisuk “ bagi suku mandailing adalah mata uang yang berlaku selain kejujuran,. Bisuk di rantau orang berarti kita bisa selamat dan sukses.
Setiap orang tua dari Parmargaon,  saya sangat yakin tidak pernah ketinggalan untuk menginstal program ini menjadi permanen  satu file tertentu kepada otak anak anak mandailing. Tak ketinggalan Ayah, selalu mengajarkan Pekerti luar biasa milik mandailing, pribahasa penerang hati lengkap dalam peradatan Mandailing.  Selain hal hal luar biasa itu, menjungjung tinggi cita cita anak, harga mati untuk diperjuangkan, PANDERES( pemotong karet ), PANGOMO OMO ( buruh kasar), PARRENGGE RENGGE( pedagang pasar pagi yang  dagangannya dihampar di atas terpal). Semua propesi termasuk pegawai pemerintah , punya semangat yang sama untuk memperjuangkan anaknya dan membekalinya dengan ilmu, walaupun marutang utang ( menghutang duit) luar biasa

Ayah, adalah panders propesional, yang telah digelutinya puluhan tahun lalu, namun untuk propesi ini tidak pernah naik golongan apalagi mendapat inventaris , ha ha ha …..   ngayal kali penulis  ya,. Keringat yang ayah cucurkan mungkin seimbang dengan getah yang beliau hasilkan dari deresannya,  ALLOHU AKBAR.,, saya masih ingat jelas, ketika  setiap ayah istirahat tengah hari, baju Amanta( ayahanda) itu basah kuyup layaknya diguyur hujan deras selama beberapa jam, jika kita peras airnya 0,5 kg tidak kemana, belum lagi yang bercucuran saat melalui tiap pokok pohon, air mata penulis mulai menetes saat membayangkan perjuangan Orangtua yang berpantang lelah itu.

Kepulangan, empat tahun direncanakan jauh lebih matang dari rencana enam bulan, pasti. Empat tahun lalu sudah sangat layak saya untuk pulang setelah delapan tahun tidak pernah menginjak kaki di kampung halaman, hukum Bangau terbangpun berlaku. Namun ego atau terlalu mencintai rumah saya jawabannya saya rahasiakan pembaca, yang jelas….! saya tunda hingga yang ke 12 tahun saya di Natuna baru niat pulang dan berlebaran di kampung  sepenuhnya dalam hati, artinya tanpa beban yang berarti.
Segala perlengkapan, oleh oleh buat sanak family tidak dilupakan, apalagi untuk ayah dan ibu. Namun lain halnya dengan ibu, “ pulang saja kamu sudah sangat bersukur  anak ku” kata ibu saat menghubunginya lewat telpon . Hatiku teriris saat itu menambah rindunya rumah kecil milik keluarga besar ku, “ saya kerja keras seperti ini salah satu alasannya adalah kedua orangtuaku, di tanah Natuna berjuang habis habisan pada dasarnya untuk ibu dan ayah, namun terasa ada kebohongan dalam diriku sendiri, 12tahun baru saya mersa pas  untuk melihat sosok yang menjadi alasan itu, sosok yang berpantang lelah itu, sosok yang semakin keriput itu,. Betapa zalimnya aku, betapa tidak mengingat saat ibuku memberisepotong goreng pisang yang hanya sanggup di beli ibu untuk sarapan MAMURO( mengusir burung di sawah saat menjelang panen),  Apakah ibu menginginkan goreng pisang semata wayang ini ?“ ibu tidak ingin nak “ jawaban yang baru ku mengerti saat ini. Saat aku mengambil uang ibu,  untuk meneraktir cewek baru ku, ibu kucar kacir mencari PARSALIAN( orang yang memberikan beras untuk di masak dan kita ganti dengan beras lagi), duit yang tersisa hanya untuk beli beras makan sore dan besok pagi. Tapi tak pernah membenciku secara berlebihan, tetap mencintaiku dan menyayangiku apa pun keadaanku., ALLOHU AKBAR,. Terimakasih ibu.

Empat tahun lalu Kaplingan sawitku belum panen, ku tunda kepulangan itu, tahun berikutnya rumah ku belum lunas, kembali ku tunda, dan tahun berikutnya , ruko belum lunas, ku ulangi lagi untuk menunda dan menahan rindu itu, tahun ini, Avanza putih ku lunasi dua bulan menjelang lebaran dan siap turun kembali ke kubangan. Membawa symbol mapan dan selamat, Avanza putih itulah menurut saya symbol keberhasilan selama 12 tahun di Tanah Natuna, bangga yang teramat sangat pulang dengan avanza, mobil sendiri dan bawa supir sendiri” ayah dan ibu ku pasti senang melihat kepulangan saya ini” bisikku dalam hati.
Gdebug…gdebug…..  suara jantungku semakin keras tikungan terahir menjelang kampung mungil hijau nan  ramah yang kumimpikan selama 12 tahun trakhir, kampung yang punya cerita 1000 bait tentang anak panderes yang sudah mapan di pulau se jauh Borneo itu, ku pastikan lagi, apa hadiah untuk amanta itu masih ada sambil menatap ke belakang tempat buah tangan itu ku letak agar tetap segar, dan membuka sedikit kaca mobil bagian pintu belakang untuk penyegaran udara khusus untuk hadiah  ayah itu.
Perempuan keriput itu terus mencoba untuk berdiri dari tempat yang selalu ia habiskan hari harinya empat tahun terakhir, namun kuasa punya Allah, tempat duduk sehari- hari sekaligus peraduannya tak dapat membantu, matanya menatap kosong seperti pandangan kaku, terbuka lebar namun tak terlihat sesuatu dalam pandangan  itu. Avanza putih yang baru kulunasi terlihat baginya hanya segumpalan asap hitam, pun juga aku, anak anak ku, istriku yang cantik sama saja baginya hitam dan gelap. Wanita tua yang dari tadi berusaha berdiri, mengulanginya lagi untuk yang ke empat kalinya,  untuk berdiri lagi seperti bayi yang baru belajar berjalan, tetap juga gagal. Kurangkul sekuat tenaga ku peluk, ku ciumi seiring tangis haru yang tak bisa untuk kusembunyi dari deru haru yang sangat dalam, tangannya terus meraba wajah ku yang lebih gemuk dari 12 tahun lalu, air matanya bercucuran, serupa dengan melepasku 12 tahun lalu,. Dirabanya lagi wajahku, di ciumnya lagi dengan pegangan lemah, tapi cukup kuat untuk wanita yang sakit dan lumpuh empat tahun,.
Meskipun ibu tidak meminta oleh-oleh atau hadiah dariku, namun saya tau persis kalau sholat ibu susah kita dapati untuk bolong satu waktu pun, mukenah 12 tahun lalu yang sering kulihat dipakai ibu saat melaksanakan shalat, mukenah yang tai lalatnya sudah penuh di penutup kepala, 12 lebih tambalan kain jahitan tangan, dari cerita ibu, mukenah itu adalah mukenah yang di berikan ayah yang kedua setelah mereka menikah, masya Allah. Bukan Ayahmu tidak mau beli yang baru, namun keadaan menjawab semua. kalau mukenah yang ini masih bisa di pakai untuk sholat, imbuh ibu saat bercerita saat itu.
Segera ku ambil koper dan ku keluarkan oleh oleh buat ibu, mukenah paling bagus di Toko perbelanjaan Natuna, di rancang perancang terkenal dari ibu kota, ku buka kemasannya, kuserahkan pada ibu dengan hati yang bahagia masih bisa memberikan hadiah pada ibu. “ bagus sekali kainnya kata beliau”, walaupun hanya bisa meraba. Selang beberapa detik kemudian setelah ucapan terima kasih dari ibu, Guntur itu pun menerjang sekuat kuatnya, hujan deras sederas derasnya, tidak terdengar dan tidak membasahi, terasa hanya dalam dada, dada yang paling dalam. Darah yang keluar dari mulut ibu langsung saya tampih dengan mukenah perncang terkenal itu, hampir setengah liter, batuk lagi, muntah lagi beberpa kali. Hingga malam menjelang keadaan semakin negative, panggil dokter untuk segera menangani.
Suara Takbir sudah mulai terdengar dari pengeras suara mesjid, sampai ke rumah ku, takbir itu kami tambah dengan sahadat yang di bisikkan ke telinga ibu, ASHADU ALLA ILAHA ILLALLOH WA ASHADU ANNA MUHAMMADAR ROSULULLOH  
Ibu……..  suara tangisan itu semakin jauh dalam isakan, jauh ke tempat yang paling sepi di dunia ini, entah ufuk apa namanya, namun itulah tempat paling sepi di dunia ini. Aku, ayahku, seluruh sanak family semuanya ikut ke tempat dan ufuk yang belum punya nama itu, sepi.., sepi.
Tak pernah terlintas, terpikir kalau malam lebaran itu adalah hari terkhir melihat  Ibunda tercinta, kalau Ibu  akan pergi untuk selama lamanya ke Khadirat Ilahi, terkubur bersama gulai ubi tumbuk cabe hijau cina  yang terbaik di jagad ini, masakannya yang selalu ku rindui hingga saat saya menulis cerita pendek ini,. Ibu adalah sandaran jiwaku saat situasi apa pun, kondisi bagaimanapun, berpantang untuk lelah demi anak anaknya, . jari kasar akibat tuntutan hidup, akibat parang dan cangkul, tapi tak ada sedamai sentuhannya di saat menggaruki ubun ubun ku sambil mendengdangkan lagu serak PITULO BERTALI TALI  pengantar tidur, tetap lagu paling cepat hayal ku hilang di peraduan, memimpikan hari esok yang indah penuh bintang gemintang.Selamat jalan ibu.
            Sesosok Ayah yang kuat dan penuh tanggung jawab berdiri tegar di sampingku mengamati  setiap detik pertumbuhanku, setiap waktu perkembanganku , matanya tak pernah lelah , bahunya tak  pernah pegal, Siaga Ala serdadu zaman perang, pria tua itulah yang kini telah membuat ku jadi Dewasa yang kuat, pribadi yang tangguh setara dengan karang samudra.Setelah hari duka itu hingga saya pulang kembali ke garis lintang borneo, ayah tidak banyak berkata kata seperti biasanya, terpukul yang sedalam dalamnya atas peninggalan wanita yang telah menemani hidupnya puluhan tahun,  “ TANAM BAMBU ITU, AYAH SUDAH MENANAMNYA SAAT HARI PESTA PERNIKAHANMU, KAMU MENCABUTNYA, TANAM KEMBALI ANAKKU” pesan ayah.