Oleh Oleh Buat Ayah
Empat anak bambu sepanjang 1 meter bersama akar akarnya ku
jaga sedemikian rupa, kemasannya pun tidak ku beri peluang untuk lecet, saat
ini, empat anak pohon bambu itu adalah barang yang paling berharga bagi saya,.”
Maklum” pesanan Ayah dari tanah Angkola, yang disebut juga Mandailing julu. Saya
menjaganya hampir serupa dengan surat pertama saya yang baru dibalas dari gadis
impian saya, ku simpan di antara lipatan lipatan kain saya agar tetap rapi
seperti baru ku terima dari gadis tersebut.
Pembalutnya saja tiga lapis karung,
baleho dan lagban yang tebal, agar sampai di Mandailing julu tetap seperti yang
baru saya ambil dari rumpunnya dan siap untuk di tanam dan tumbuh dengan baik.
“ ya” Untuk Ayah. Saya kenal ayah dalam menanam pohon apa pun, selalu teliti
dalam memilih bibit dan indukan, konon katanya bambu melayu sangat mudah di atur
dan kokoh meski ukurannya lebih kecil dari bambu di desa saya, hampir sekokoh bambu
cina yang terkenal ke penjuru bumi kekokohannya. Mungkin inilah yang membuat
ayah sangat menginginkan bambu melayu, untuk di jadikan pagar ladang kecilnya
di lahan yang baru beliau tanami dengan kakau. Tempatnya sengaja kusiapkan
dengan rapi dalam mobil avanza putih
yang baru ku lunasi, agar tetap segar hingga kubangan.
Sebagai suku mandailng
Pelajaran pertama dalam suku mandailing
adalah, TUTUR SAPA, dalam system Dalihan Natolu setiap anak dari suku
mandailing telah di lengketkan secara permanen Program TUTUR ( panggilan tertentu
kepada orang tertentu)., Tulang, amangboru, Ujing , Tobang dan lain lain, .
betapa halusnya cara kerja program ini sehingga untuk panggilan pun ada
aturannya apalagi PANGALAHO ( secara bahasa : cara berjalan, secara Istilah :
bersikap, bertingkah dan mengambil keputusan ). Cara berjalan saja kita ada
aturannya, bagaiman berjalan di hadapan Hamoraon,(sesepuh) Harajaon ( darah
biru )dll,. Dan itulah yang ditularkan orang tua saya kepada saya sehingga saya
bisa melewati masa masa sulit di Pulau Natuna dan menjadi Orang pertama yang
bermarga yang memiliki beberpa kaplingan sawit dan dua buah ruko strategis di
jalan protocol. Alhamdulillh semoga bertambah lagi. Pesan, BISUK ( kecerdasan
emosional ) lebih banyak menghantar orang kepada kesuksesan di bandingkan
kecerdasan Intelektual. “ Bisuk “ bagi suku mandailing adalah mata uang yang
berlaku selain kejujuran,. Bisuk di rantau orang berarti kita bisa selamat dan
sukses.
Setiap orang tua dari Parmargaon, saya sangat yakin tidak pernah ketinggalan
untuk menginstal program ini menjadi permanen
satu file tertentu kepada otak anak anak mandailing. Tak ketinggalan
Ayah, selalu mengajarkan Pekerti luar biasa milik mandailing, pribahasa penerang
hati lengkap dalam peradatan Mandailing.
Selain hal hal luar biasa itu, menjungjung tinggi cita cita anak, harga
mati untuk diperjuangkan, PANDERES( pemotong karet ), PANGOMO OMO ( buruh
kasar), PARRENGGE RENGGE( pedagang pasar pagi yang dagangannya dihampar di atas terpal). Semua
propesi termasuk pegawai pemerintah , punya semangat yang sama untuk
memperjuangkan anaknya dan membekalinya dengan ilmu, walaupun marutang utang (
menghutang duit) luar biasa
Ayah, adalah panders propesional, yang
telah digelutinya puluhan tahun lalu, namun untuk propesi ini tidak pernah naik
golongan apalagi mendapat inventaris , ha ha ha ….. ngayal kali penulis ya,. Keringat yang ayah cucurkan mungkin
seimbang dengan getah yang beliau hasilkan dari deresannya, ALLOHU AKBAR.,, saya masih ingat jelas,
ketika setiap ayah istirahat tengah hari,
baju Amanta( ayahanda) itu basah kuyup layaknya diguyur hujan deras selama
beberapa jam, jika kita peras airnya 0,5 kg tidak kemana, belum lagi yang
bercucuran saat melalui tiap pokok pohon, air mata penulis mulai menetes saat
membayangkan perjuangan Orangtua yang berpantang lelah itu.
Kepulangan, empat tahun direncanakan
jauh lebih matang dari rencana enam bulan, pasti. Empat tahun lalu sudah sangat
layak saya untuk pulang setelah delapan tahun tidak pernah menginjak kaki di
kampung halaman, hukum Bangau terbangpun berlaku. Namun ego atau terlalu
mencintai rumah saya jawabannya saya rahasiakan pembaca, yang jelas….! saya
tunda hingga yang ke 12 tahun saya di Natuna baru niat pulang dan berlebaran di
kampung sepenuhnya dalam hati, artinya
tanpa beban yang berarti.
Segala perlengkapan, oleh oleh buat
sanak family tidak dilupakan, apalagi untuk ayah dan ibu. Namun lain halnya
dengan ibu, “ pulang saja kamu sudah sangat bersukur anak ku” kata ibu saat menghubunginya lewat
telpon . Hatiku teriris saat itu menambah rindunya rumah kecil milik keluarga
besar ku, “ saya kerja keras seperti ini salah satu alasannya adalah kedua
orangtuaku, di tanah Natuna berjuang habis habisan pada dasarnya untuk ibu dan
ayah, namun terasa ada kebohongan dalam diriku sendiri, 12tahun baru saya mersa
pas untuk melihat sosok yang menjadi alasan itu,
sosok yang berpantang lelah itu, sosok yang semakin keriput itu,. Betapa
zalimnya aku, betapa tidak mengingat saat ibuku memberisepotong goreng pisang
yang hanya sanggup di beli ibu untuk sarapan MAMURO( mengusir burung di sawah
saat menjelang panen), Apakah ibu
menginginkan goreng pisang semata wayang ini ?“ ibu tidak ingin nak “ jawaban
yang baru ku mengerti saat ini. Saat aku mengambil uang ibu, untuk meneraktir cewek baru ku, ibu kucar
kacir mencari PARSALIAN( orang yang memberikan beras untuk di masak dan kita
ganti dengan beras lagi), duit yang tersisa hanya untuk beli beras makan sore dan
besok pagi. Tapi tak pernah membenciku secara berlebihan, tetap mencintaiku dan
menyayangiku apa pun keadaanku., ALLOHU AKBAR,. Terimakasih ibu.
Empat tahun lalu Kaplingan sawitku belum
panen, ku tunda kepulangan itu, tahun berikutnya rumah ku belum lunas, kembali
ku tunda, dan tahun berikutnya , ruko belum lunas, ku ulangi lagi untuk menunda
dan menahan rindu itu, tahun ini, Avanza putih ku lunasi dua bulan menjelang
lebaran dan siap turun kembali ke kubangan. Membawa symbol mapan dan selamat,
Avanza putih itulah menurut saya symbol keberhasilan selama 12 tahun di Tanah
Natuna, bangga yang teramat sangat pulang dengan avanza, mobil sendiri dan bawa
supir sendiri” ayah dan ibu ku pasti senang melihat kepulangan saya ini”
bisikku dalam hati.
Gdebug…gdebug….. suara jantungku semakin keras tikungan
terahir menjelang kampung mungil hijau nan ramah yang kumimpikan selama 12 tahun trakhir,
kampung yang punya cerita 1000 bait tentang anak panderes yang sudah mapan di
pulau se jauh Borneo itu, ku pastikan lagi, apa hadiah untuk amanta itu masih
ada sambil menatap ke belakang tempat buah tangan itu ku letak agar tetap segar,
dan membuka sedikit kaca mobil bagian pintu belakang untuk penyegaran udara
khusus untuk hadiah ayah itu.
Perempuan keriput itu terus mencoba
untuk berdiri dari tempat yang selalu ia habiskan hari harinya empat tahun
terakhir, namun kuasa punya Allah, tempat duduk sehari- hari sekaligus
peraduannya tak dapat membantu, matanya menatap kosong seperti pandangan kaku,
terbuka lebar namun tak terlihat sesuatu dalam pandangan itu. Avanza putih yang baru kulunasi terlihat
baginya hanya segumpalan asap hitam, pun juga aku, anak anak ku, istriku yang
cantik sama saja baginya hitam dan gelap. Wanita tua yang dari tadi berusaha
berdiri, mengulanginya lagi untuk yang ke empat kalinya, untuk berdiri lagi seperti bayi yang baru belajar
berjalan, tetap juga gagal. Kurangkul sekuat tenaga ku peluk, ku ciumi seiring
tangis haru yang tak bisa untuk kusembunyi dari deru haru yang sangat dalam, tangannya
terus meraba wajah ku yang lebih gemuk dari 12 tahun lalu, air matanya
bercucuran, serupa dengan melepasku 12 tahun lalu,. Dirabanya lagi wajahku, di
ciumnya lagi dengan pegangan lemah, tapi cukup kuat untuk wanita yang sakit dan
lumpuh empat tahun,.
Meskipun ibu tidak meminta oleh-oleh
atau hadiah dariku, namun saya tau persis kalau sholat ibu susah kita dapati
untuk bolong satu waktu pun, mukenah 12 tahun lalu yang sering kulihat dipakai
ibu saat melaksanakan shalat, mukenah yang tai lalatnya sudah penuh di penutup
kepala, 12 lebih tambalan kain jahitan tangan, dari cerita ibu, mukenah itu
adalah mukenah yang di berikan ayah yang kedua setelah mereka menikah, masya
Allah. Bukan Ayahmu tidak mau beli yang baru, namun keadaan menjawab semua.
kalau mukenah yang ini masih bisa di pakai untuk sholat, imbuh ibu saat bercerita
saat itu.
Segera ku ambil koper dan ku keluarkan
oleh oleh buat ibu, mukenah paling bagus di Toko perbelanjaan Natuna, di
rancang perancang terkenal dari ibu kota, ku buka kemasannya, kuserahkan pada
ibu dengan hati yang bahagia masih bisa memberikan hadiah pada ibu. “ bagus
sekali kainnya kata beliau”, walaupun hanya bisa meraba. Selang beberapa detik
kemudian setelah ucapan terima kasih dari ibu, Guntur itu pun menerjang sekuat
kuatnya, hujan deras sederas derasnya, tidak terdengar dan tidak membasahi,
terasa hanya dalam dada, dada yang paling dalam. Darah yang keluar dari mulut
ibu langsung saya tampih dengan mukenah perncang terkenal itu, hampir setengah
liter, batuk lagi, muntah lagi beberpa kali. Hingga malam menjelang keadaan
semakin negative, panggil dokter untuk segera menangani.
Suara Takbir sudah mulai terdengar dari
pengeras suara mesjid, sampai ke rumah ku, takbir itu kami tambah dengan
sahadat yang di bisikkan ke telinga ibu, ASHADU ALLA ILAHA ILLALLOH WA ASHADU
ANNA MUHAMMADAR ROSULULLOH
Ibu……..
suara tangisan itu semakin jauh dalam isakan, jauh ke tempat yang paling
sepi di dunia ini, entah ufuk apa namanya, namun itulah tempat paling sepi di
dunia ini. Aku, ayahku, seluruh sanak family semuanya ikut ke tempat dan ufuk
yang belum punya nama itu, sepi.., sepi.
Tak pernah terlintas, terpikir kalau malam
lebaran itu adalah hari terkhir melihat Ibunda tercinta, kalau Ibu akan pergi untuk selama lamanya ke Khadirat
Ilahi, terkubur bersama gulai ubi tumbuk cabe hijau cina yang terbaik di jagad ini, masakannya yang
selalu ku rindui hingga saat saya menulis cerita pendek ini,. Ibu adalah
sandaran jiwaku saat situasi apa pun, kondisi bagaimanapun, berpantang untuk
lelah demi anak anaknya, . jari kasar akibat tuntutan hidup, akibat parang dan
cangkul, tapi tak ada sedamai sentuhannya di saat menggaruki ubun ubun ku
sambil mendengdangkan lagu serak PITULO BERTALI TALI pengantar tidur, tetap lagu paling cepat hayal
ku hilang di peraduan, memimpikan hari esok yang indah penuh bintang gemintang.Selamat
jalan ibu.
Sesosok
Ayah yang kuat dan penuh tanggung jawab berdiri tegar di sampingku
mengamati setiap detik pertumbuhanku,
setiap waktu perkembanganku , matanya tak pernah lelah , bahunya tak pernah pegal, Siaga Ala serdadu zaman perang,
pria tua itulah yang kini telah membuat ku jadi Dewasa yang kuat, pribadi yang
tangguh setara dengan karang samudra.Setelah hari duka itu hingga saya pulang
kembali ke garis lintang borneo, ayah tidak banyak berkata kata seperti
biasanya, terpukul yang sedalam dalamnya atas peninggalan wanita yang telah
menemani hidupnya puluhan tahun, “ TANAM
BAMBU ITU, AYAH SUDAH MENANAMNYA SAAT HARI PESTA PERNIKAHANMU, KAMU
MENCABUTNYA, TANAM KEMBALI ANAKKU” pesan ayah.